Minggu, 27 Desember 2009

HUKUM INVESTASI ASING DI INDONESIA

Telah empat puluh satu tahun lamanya, Undang-undang No. 1 Tahun 1967 diberlakukan di Indonesia, dan telah empat puluh satu tahun pula kekayaan Indonesia di eksploitasi oleh Negara-negara kapital tanpa adanya kompensasi yang layak bagi Negara juga masyarakat asli pemilik tempat ulayat. Dampak dari kehadiran Undang-undang PMA ini ternyata masih menuai kontroversi dan menjadi polemic bangsa. Secara histories, pengaturan akan tatanan hukum terhadap investasi asing di indonesia telah dimulai pada tahun 1958, sejak jaman pemerintahan orde lama yakni dengan dilahirkannya Undang-undang No 78 tahun 1958 Tentang Penamaman Modal Asing dan hanya berlaku selama 2 tahun. Kemudian diperbaharui pula dengan Undang-undang No 15 tahun 1960. Undang-undang ini juga tidak berumur panjang, hanya 5 tahun sejak di tetapkannya sebagai Undang-undang, kemudian dicabut kembali berdasarkan Undang-undang No 16 tahun 1965. Selama 2 tahun kurang lebih, Indonesia mengalami kevakuman hukum (rechts vacuum) dalam bidang ekonomi, hingga tahun 1967 barulah kemudian Indonesia mengakomodir kepentingan ekonomi global dengan melahirkkan undang-undang PMA yang masih digunakan hingga sekarang. Factor penting yang melatarbelakangi kelahiran Undang-undang No 1 tahun 1967 yang kita kenal sebagai Undang-undang PMA ini adalah kemerosotan ekonomi Indonesia dalam masa itu, yakni dengan melonjaknya hutang luar negeri Indonesia untuk membiayai kekuatan angkatan bersenjata Indonesia. Investasi, dalam tipologi ekonomi makro, dapat didefinisikan sebagai bentuk pembelian dari capital atau pemilik modal terhadap barang-barang yang tidak dikonsumsi, tetapi digunakan untuk produksi yang akan datang, artinya ada system jual beli dalam prakteknya. Dalam teori perbankan, insvestasi dapat diartikan sebagai akumulasi suatu bentuk aktiva baik bergerak maupun tidak bergerak dengan suatu harapan untuk mendapatkan keuntungan dimasa depan Sesungguhnya ada banyak teori tentang investasi yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis, Akan tetapi saya lebih setuju untuk menggunakan istilah investasi dalam bidang hukum ekonomi sebagai bentuk aktifitas penempatan modal dalam sebuah usaha tertentu yang memiliki tujuan untuk memperoleh tambahan penghasilan atau keuntungan. Artinya bahwa investasi ini tujuannya tetap dan dengan target yang jelas dan dapat berlangsung dalam waktu yang tak terhingga. Teori inilah yang kemudian melatar belakangi academic drafting dalam penyusunan undang-undang tentang PMA, meski sesungguhnya perubahan iklim ekonomi di Asia pada umumnya dan Indonesia secara khusus adalah kemerosotan ekonomi Negara. Kondisi Indonesia dan lemahnya system regulasi tentang investasi ini ternyata melahirkan beberapa factor penting yang mempengaruhi kehadiran investor asing agar melakukan investasinya di Indonesia hingga masa kini, beberapa factor tersebut dapat diperinci sebagai berikut ; 1. Faktor Buruh Murah Kehadiran suatu PMA sudah barang tentu akan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, sehingga dapat meringankan beban pemerintah, apalagi dengan jumlah penduduk yang banyak seperti Indonesia dan sebagai Negara merdeka yang baru berkembang, namun mempunyai masalah ekonomi masa itu, tentu terdapat jumlah tenaga kerja yang melimpah. Dengan alasan tenaga minim skill, dan kebutuhan biaya produksi yang besar, UU tersebut melegalkan praktik Marginal Labour. Beberapa alasan juga dapat dikemukakan dalam praktik ini antara lain : - Faktor Budaya, sudah barang tentu sebagai pemilik modal sudah pasti para investor ini mempunyai budaya yang berbeda sehingga alasan tenaga indonesia adalah tenaga minim skill dapat dilegalkan sehingga tidak menjadi beban pemerintah - Motivasi Bekerja pada PMA ternyata mempunyai dampak westernisasi sehingga dapat membentuk perbedaan status sosial dalam kehidupan bermasyarakat. - Ketergantungan terhadap para Pemilik Modal sangat besar. Hal ini dilandasi oleh lemahnya nila tukar rupiah dalam bentuk valuta asing jika dikonvert dengan rupiah. 2. Faktor Bahan Baku. Sebagai negara berkembang, penguasaan akan ilmu dan technologi ternyata masih menjadi kendala utama, sehingga upaya maksimalisasi SDA masih bergantung sepenuhnya dengan negara-negara maju sebagai pemilik modal dan technologi. Sifat ketergantungan ini ternyata membawa dampak eksploitasi yang berlebihan dari negara investor akibat lemahnya bergaining position dan Bergaining Power dari negara tuan rumah,sehingga para investor dengan mudah mempengaruhi political will dari negara tuan rumah untuk memberikan kesempatan eksploitasi yang berlebihan dari investor untuk memindahkan industrinya kederah-daerah yang kaya akan SDA. Kedekatan akan bahan baku ini adalah target utama dari investor sehingga eksploitasi dapat dimaksimalkan, sementara fungsi kontrol dari negara tuan rumah jutru mengalami minimalisasi akibat adanya overlapping kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 3. Mencari Market Baru. Faktor lain yang mempengaruhi minat investasi pada negara-negara berkembang adalah minat pasar. Artinya, dengan kemudahan fasilitas yang diberikan, para investor ini berupaya juga untuk dapat memperoleh akses langsung bagi pasar negara berkembang. Sebagai produsen, para investor ini dapat dengan mudah melakukan kontrol biaya konsumen yang dilatarbelakangi dengan jumlah populasi dan sifat konsumerisme dari negara berkembang. Kebutuhan akan produk dalam negeri dapat terpenuhi dengan baik sepanjang produksi tidak terganggu, sementara kebutuhan ekspor terus meningkat bagi negara berkembang lainnya yang belum tereksploitasi SDAnya. Kebutuhan akan konsumsi produk domestik juga membuat tersedianya jumlah tenaga kerja yang besar dan sifat ketergantungan akan keberadaan suatu PMA juga membuka akses lain terhadap pemenuhan produk berikut suku cadangnya. Ekspansi ekonomi seperti inilah yang rentang membuat keleluasaan PMA dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi SDA diwilayah indonesia. 4. Faktor Lisensi dan Alih Technologi Investasi, biasanya selalu diikuti dengan dalih transfer technologi. Proses transfer technologi dalam investasi ini, pada umumnya dilakukan dengan melalui suatu mekanisme perlisensian. Sementara proses alih technologi ini sendiripun dilakukan dengan lisensi merek atau well known marks yang mana mekanisme ini menyangkut Hak Paten, Hak Cipta, Desain Industri dan rahasia dagang. Tuntutan akan kebutuhan technologi ini membuat bergaining posisi yang terbalik antara tuan rumah dengan pemilik modal. Seharusnya sebagai pemilik bahan baku, sudah barang tentu pemilik modal harus menghormati negara tuan rumah. Hal ini berlaku sunsang, dikarenakan penggunaan transfer technology tersebut memberikan peluang bagi pemilik modal untuk turut serta mendapatkan keuntungan lebih akibat adanya kompensasi lainnya dan bentuk royalti yang diberikan oleh negara terhadap beberapa item well known marks tersebut. Sementara negara membayar kompensasi dan royalti akibat alih technologi tersebut, pemilik modal dengan leluasa melakukan eksplorasi dengan maksimal tanpa memberikan kompensasi dan royalti yang layak kepada negara tuan rumah dan pemilik tempat ulayat. Hal yang paling riskan sekali adalah keleluasan dalam memberikan fasilitas pajak, Pembebasan Bea Masuk yang berkenaan dengan barang-barang kebutuhan produksi dari suatu PMA, Pembebasan Pajak lainnya (additional tax holiday) dan pemberian insentif pajak (tax Allowance). Pemberian insentif lainnya ini sudah barang tentu dilatarbelakangi dengan jaminan keamanan, kepastian bisnis, jaminan politik, non diskriminasi dan bahkan sampai dengan hal-hal manajerial yang bersifat strategis. Keleluasaan yang diberikan oleh UU no 1 tahun 1967 ini sangat berdampak terhadap eknomi bangsa. Hal inipulalah yang membuat para investor lebih senang melakukan investasinya di Indonesia akibat perilaku bisnis joint venture (kerjasama antar negara) dari kontrak karya memberikan keleluasaan atas optimalisasi SDA, akibatnya pemerintah sibuk menghitung prosentase yang didapat dari hasil produksi, tanpa memperhitungkan nilai jual. Sungguh sayang, kekayaan negara yang semestinya digunakan oleh negara untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, telah dieksploitasi untuk kemakmuran pemilik modal sebagai rakyat asing. Riskan,sungguh Riskan!! John FM Mambor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar