Sabtu, 26 Desember 2009

Papua

“Gunung-gunung, lembah-lembah yang penuh misteri, Yang kupuja slalu keindahan alammu yang mempesona Sungaimu yang deras, mengalirkan Emas.... Sio ya Tuhan Trimakasih” Syair di atas, merupakan bagian dari lagu karangan Alm. Arnold App, yang kemudian dipopulerkan bersamaan dengan group Musiknya ”Mambesak” dari Lembaga Anthropologi UNCEN. Mungkin benar, seperti kata Rio Grime ”dimana bahasa berhenti bertutur, disitu musik mengalunkan nada-nada yang menghibur”, tepat..!!. Bagi kebanyakan orang Papua (Mayoritas) tradisi sastra lisan, mempunyai nilai-nilai seni budaya yang tinggi. Namun..saya bukan hendak berbicara tentang syair lagu atau nilai-nilai seni budaya yang biasanya menjadi inspirasi seni bagi para seniman-seniman papua juga seniman kebanyakan yang ”Oportunis”. Tulisan saya ini hendak mengupas soal Tanah papua dari segi ekologis. Tanah Papua dalam catatan sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia lebih di kenal dengan Nieuw Guinea/(bhs Belanda), Nueva Guinea (bhs Spanyol), Isla del Oro (bhs Portugis), Irian (Masa Orde Baru). Sampai sejauh ini, tanah Papua telah berganti nama sebanyak 4 kali, sebelum dikembalikan oleh Gus Dur pada awal milenium dua yang lalu. Dengan keragaman budaya dan kekayaan sumber daya alamnya, tanah Papua menjadi pusat perhatian dan study dari berbagai kelompok untuk kepentingan publik. Anehnya, berbagai upaya yang dilakukan untuk kepentingan publik tersebut, ternyata tidak menyentuh pada substansi masalah yang sebenarnya.justru malah menjadikan Papua dan masyarakatnya sebagai objek eksploitasi science, budaya, sosial dan ekonomi. Tanah Bagi orang Papua mempunyai keterikatan emosional yang kuat. Tanah juga mempunyai arti filosophis bagi masyarakat Papua. Sejengkal tanah mempunyai arti yang sakral. Jika dianalogikan, tanah adalah ibarat Mama bagi orang Papua. Artinya Tanah adalah sumber kehidupan bagi orang Papua, tempat bernaung yang abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar