Senin, 01 Agustus 2011

HAK INHARENT RAKYAT ATAS SUMBER DAYA ALAM

Abstrak.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang selanjutnya dikenal sebagai DUHAM adalah merupakan suatu dokumen yang memuat pokok-pokok hak azasi dan kebebasan fundamental manusia sebagai suatu standart bagi pencapaian bersama untuk semua rakyat dan bangsa. Didalam Dokumen tersebut, ada bagian paling penting yang dapat disimak sebagai landasan atas adanya pengakuan terhadap hak dan kebebasan suatu komunitas. Jika kemudian Deklarasi ini kita tuangkan dalam schematika batang butuh, dapat ditemukan dua bagian penting yang termaktub dalam Deklarasi ini.

Bagian pertama : adalah persetujuan berkaitan dengan hak azasi dan kebebasan fundamental mengenai hak-hak sipil dan politik.

Bagian kedua : adalah persetujuan mengenai hak azasi dan kebebasan fundamental yang menyangkut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Tulisan saya kali ini, tidak hendak berbicara tentang dua bagian penting dalam DUHAM secara menyeluruh, namun lebih terfokus kepada kewajiban negara terhadap pemenuhan hak Ekonomi Rakyat yang dikenal sebagai Hak Inherent.
*********
Ketika pemerintah Republik Indonesia meratifikasi konvensi PBB tentang ECOSOB menjadi Undang-undang NOMOR 11 TAHUN 2005 tentang HAK-HAK EKONOMI,SOSIAL DAN BUDAYA, keputusan ini secara tegas telah mengikat pemerintah dalam suatu kewajiban untuk memenuhi tanggungjawab bertahapnya secara maksimun guna pencapaian tingkat ekonomi tertentu, Sesuai dengan bunyi konvenan ECOSOC pada pasal 2 ayat 1 dan 2 dan relevansinya dengan pasal 25 dari isi konvenan ini.


Ketentuan dari pasal 2 ayat 1 ini menghendaki bahwa semua Negara Pihak memulai dengan secepatnya untuk mengambil langkah-langkah konkreet agar semua orang dapat menikmati sepenuhnya seluruh hak yang terdapat dalam Kovenan. Hal Terpenting lainnya dari isi konvenan ini adalah pasal 25 “Tidak ada satu halpun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai mengurangi hak yang melekat dari semua bangsa untuk menikmati dan memanfaatkan kekayaan dan sumberdaya alam mereka secara bebas dan penuh”. Ketentuan pasal ini secara tegas memberikan keleluasaan secara maksimal kepada partisipasi masyarakat local suatu bangsa dalam setiap pemanfaatan kekayaan alamnya. Hal lain yang dapat di pahami dalam pernyataan pasal 25 ini secara harafiah jika merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, Inharent adalah suatu bagian yang melekat atau bersatu padu dengan Hak dan tanggungjawab suatu bagian yang mempunyai hubungan erat.

Berangkat daripada pengertian tersebut diatas, sudah sepatutnyalah jika kemudian masyarakat local dari suatu bangsa, diikutsertakan secara langsung untuk mengelola potensi kekayaan alam yang dimiliki. Hak ini, telah juga termasuk dalam tatanan hukum adat, dimana didalam materi hukum adat terdapat pengakuan atas hak milik suatu benda atau barang yang berwujud maupun tidak yang dikenal sebagai hak ulayat. sedangkan kekayaan alam adalah potensi ekonomi yang terkandung didalam perut bumi atau didalam laut, yang mana nilai ekonomisnya belum dapat di ketahui jika belum dilakukan suatu proses produksi. Kenyaatannya, sejauh ini, masyarakat local belum dilibatkan secara langsung dalam hal penggunaan hak inherent dimaksud, sehingga, masyarakat local seringkali mengalami konflik vertical-horizontal dengan penguasa demi pemanfaatan sumber kekayaan alam.

Pemanfaatan kekayaan alam ini merupakan bagian dari seluruh rangkaian proses perencanaan,produksi dan pasca produksi. Inilah bagian terpenting menurut hemat penulis yang perlu di proteksi oleh instrument-instrumen normative lainnya secara gobal-local. Dalam menjalankan kewajiban ekonominya,

Pertanyaannya, jika langkah proteksi optimal tidak dilakukan, dampak apakah yang dapat dirasakan oleh komunitas local ?? Saya beranggapan bahwa, paradigma pembangunan sudah seharusnya bergeser dari pola pembangunan terpusat kepada keberpihakan masyarakat local. Jika mencermati pasal 25 isi konvenan ini, secara tegas ada asas kebebasan dan asas manfaat didalamnya, kedua asas ini mempunyai hubungan keseimbangan yang seharusnya saling menguntungkan, meski sesungguhnya kebebasan dimaksud adalah merupakan implementasi dari wilayah otonomisasi executive dan legislative, namun manfaatnya harus dirasakan secara menyeluruh kepada masyarakat local. Dampak lainnya yang dapat tercipta akibat tidak berpartisipasinya masyarakat local dalam memanfaatkan kekayaan alamnya dapat di identifikasi kedalam beberapa factor, yakni Sosial, Budaya dan Politik.
Dari sisi social, laju pertumbuhan criminal akan mengalami kenaikan signifikan setiap tahunnya, dari sisi budaya, benturan akibat claim hak ulayat akan berpengaruh kepada berhentinya proses produksi yang juga berdampak langsung kepada pertumbuhan ekonomi, sementara dari sisi politik adalah adanya perlawanan politik yang kedaerahan untuk mempertahankan status Quo.

Untuk menghindari konflik, pengambilan langkah legislatif pada umumnya tidak dapat dihindari. Jika langkah proteksi hak ekonomi, sosial dan budaya akan dilaksanakan dengan sebenarnya, maka sudah seharusnyalah undang-undang untuk merespon pada setiap tingkatan yang cukup

Upaya-upaya administrative lainnya juga diperlukan, hukum, kebijakan, ekonomi, dan sosial serta beberapa langkah lain dibutuhkan pemerintah dalam rangka menjamin seluruh perwujudan hak ini bagi semua orang. Pemenuhan terhadap hak inherent ini wajib hukumnya, sebagaimana rekomendasi PBB, sehingga semua unsure diwajibkan terlibat didalamnya untuk mengawal tanggung jawab pemerintah memenuhi Hak Inherent tersebut.

Semoga kedepannya, kita mampu untuk melakukan upaya-upaya proteksi kekayaan alam yang ada agar dapat bermanfaat bagi kelangsungan generasi kita mendatang.