Jumat, 24 Oktober 2014

JOHN RUGGIE PRINCIPLES, TONGGAK PEMBAHARUAN DAN PEMULIHAN BAGI PARA KORBAN PELANGGARAN HAM OLEH KORPORASI (BY:JOHN FM MAMBOR,SH)

JOHN RUGGIE PRINCIPLES, TONGGAK PEMBAHARUAN DAN PEMULIHAN BAGI PARA KORBAN PELANGGARAN HAM OLEH KORPORASI Saya tertarik untuk mengikuti setiap perkembangan dari nilai-nilai HAM yang begitu dinamis hampir 10 tahun belakangan ini, dimulai dari adanya kesepahaman konsep yang begitu mendasar tentang subject manusia itu sendiri pada tahun 1941 oleh Franklin Delano Roosevelt yang menyampaikan gagasannya (baca : yang brilliant) dihadapan anggota kongres Amerika tentang betapa pentingnya membentuk suatu tatanan internasional yang baru pasca berakhirnya perang dunia kedua kelak dengan focus utamanya adalah “penghormatan oleh seluruh dunia” terhadap 4 (empat) nilai-nilai mendasar individu yakni ; kebebasan berbicara (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), bebas dari kemiskinan (freedom of poor) dan bebas dari ketakutan (freedom of fear) Konsep ini kemudian menggugah kesadaran kolektiv dari para anggota kongres Amerika saat itu untuk dimasukan kedalam piagam atlantik atau “Atlantic Charter” pada bulan Agustus tahun 1941 serta mendorong penyempurnaanya menuju pada deklarasi di tingkat internasional, selama kurang lebih 6 (enam) tahun, gagasan Roosevelt ini terus menerus mengalami transformasi menuju pada momentum Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, disinilah lahirnya konsep HAM secara modern dan menjadi dasar dari negara-negara yang baru merdeka pasca perang dunia II serta transformasi terhadap negara-negara feodal di seantero dunia. Transformasi konsep HAM yang awalnya dari ruang tertutup menuju pada konsep universal menjadi keyakinan tersendiri bagi saya karena sifatnya yang kodrati dan tidak memandang pada paradigma satu bangsa atau satu ras tertentu, sebab saya meyakininya juga bahwa hak asasi manusia adalah merupakan anugerah atau pemberian daripada sang pencipta Yang Maha Kuasa sehingga setiap orang dari setiap suku bangsa mempunyai kewajiban universal juga untuk menghormati (to respect) ……….dst April, 2008 adalah periode pertama kalinya Universal Periodic Review (UPR) untuk Indonesia dilakukan oleh Amnesty Internasional berdasarkan laporan-laporan dari local NGO’s maupun UN NGO’s yang memperhatikan kondisi perkembangan HAM di Indonesia pasca kerusuhan 1998 sebagai dampak transisi kekuasaan dari orde baru ke pemerintah reformasi. Riset dari Amnesty Internasional menyoroti tentang impunitas (bebas dari tuntutan hukum) yang dikhawatirkan masih terus berlangsung di Indonesia sebagai ancaman serius bagi proses penegakan hukum “law enforcement”. Law Enforcement adalah syarat utama untuk pemberian bantuan financial dari lembaga-lembaga keuangan Internasional guna memulihkan kondisi keuangan republic Indonesia yang carut marut akibat dihantam badai krisis moneter. Jika menengok kembali kebelakang sebelum badai moneter menerpa Republik Indonesia, kondisi inflasi di Indonesia masih berada dalam kisaran aman dan sedang menggeliat karena pasar konsumen dalam negeri yang begitu mejanjikan, meskipun sesungguhnya pertumbuhan inflasi ini masih sangat di dominasi oleh kelompok bisnis tertentu yang berada dekat sekali dalam epicentrum kekuasaan saat itu. Kehadiran perusahaan-perusahaan berskala transnasional vs konflik interest dari penguasa inilah awal yang menyebabkan kehancuran ekonomi Indonesia, sehingga ketika badai moneter menerpa republic Indonesia, banyak perusahaan-perusahaan transnasional yang “gulung tikar” dan meninggalkan beban yang tidak sedikit bagi penduduk Indonesia yang secara tidak disadari telah menjadi korban dari kejahatan korporasi. Hal ini tidaklah bisa di pungkiri begitu saja, bahwa korporasi transnasional adalah “entitas bisnis siluman” dari penguasa terdahulu yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran karena mendapatkan impunitas berkesinambungan, sementara di lain sisi, setiap kita (penduduk Indonesia) yang adalah juga korban kejahatan korporasi ini masih belum mendapatkan pemulihan hak-hak nya sebagai korban kejahatan korporasi yang patut untuk direhabilitasi Negara. Kehadiran korporasi dengan kekuatannya tidaklah bisa di hindari dalam setiap aspek kehidupan manusia, korporasi membawa perubahan yang sangat significant dalam aspek kehidupan manusia itu sendiri. Yang mana secara nyata, korporasi akan berpusat pada kepentingan ekonomi baik individu maupun organisasi bisnis. Secara indvidu, korporasi berdampak besar dalam menghadirkan lapangan kerja bagi sejumlah penduduk Indonesia dan dalam konteks ini, kita tidak bisa menutup mata atau mengingkari keberadaan dari korporasi itu sendiri bahwa peran dan kehadiran korprorasi jauh lebih penting daripada kehadiran pemerintah di pelosok-pelosok daerah yang mempunyai potensi ekonomi yang layak untuk dikelola. Mengapa demikian??? Hal ini dikarenakan oleh kekuatan dari korporasi yang pandai memainkan peran nya dari berbagai sector untuk mempengaruhi tatanan pemerintah dan strutktur social dari masyarakat setempat dan parahnya adalah aktivitas korporasi dan peranannya ternyata membawa dampak buruk perkembangan Hak Asasi Manusia yang menjadi standar dasar kemanusiaan. Rugie Principles, Tonggak Pembaharuan bagi Pemulihan Hak Korban Pelanggaran Korporasi Tahun 2003, PBB melangsungkan sidangnya yang ke dua puluh dua dengan menghadirkan topic lama yang masih “out standing” dari UN sendiri, topics yang kemudian menjadi perbincangan hangat (baca : kontroversi) bagi panduan terhadap expansi perusahaan-perusahaan transnasional dengan target dari UN adalah untuk melakukan proteksi terhadap negara ke tiga baik kepada potensi SDA nya maupun terhadap penduduk nya. Implikasi dari penerapan ini sebagian besar di dorong pada rasa perduli dari para pemimpin dunia untuk mengangkat harkat dan martabat dari suatu bangsa yang dipandang sebagai Negara ke tiga di seantero dunia. Kondisi riil lainnya yang tidak bisa di hindari adalah eskalasi politik global, yang secara menyeluruh pada beberapa tahun terkahir ini telah menggeser peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai suatu system kenegaraan menurut paradigma Hak Asasi Manusia turut pula mengalami distorsi global. Dimana-mana, pemerintah dipandang telah kehilangan respect- nya terhadap kemajuan nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Yang mana seharusnya Negara sebagai sign inisiator dalam menghormati, melindungi dan memajukan Hak Asasi Manusia, cenderung menjadi tidak berdaya ketika ada “over lapping” dari peran korporasi terhadap pemerintahan dimainkan oleh para kaum kapitalis. Kekuatan korporasi yang lebih dominan dibanding negara, pada praktiknya sering memberikan dampak buruk pada hak asasi manusia. Sehingga, mengundang perhatian berbagai lembaga untuk mendiskusikan dan membahas langkah alternatif untuk mengatasi dampak buruk korporasi pada hak asasi manusia. Hingga, pada akhirnya pada awal tahun 2011, Komisi HAM PBB mengesahkan Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Perkembangan ekonomi-politik global dalam satu dekade terakhir telah nyata menyebabkan entitas negara tidak lagi memiliki kekuasaan sebesar yang pernah ia punya sebelumnya. Implikasinya, meletakkan tanggung jawab bagi pemajuan hak asasi manusia hanya di pundak negara menjadi kurang memadai. Ada kekuatan lain yang lebih besar dari negara, bahkan mampu mendominasinya, yaitu korporasi. Kekuatan korporasi yang lebih dominan dibanding negara, pada praktiknya sering memberikan dampak buruk pada hak asasi manusia. Sehingga, mengundang perhatian berbagai lembaga untuk mendiskusikan dan membahas langkah alternatif untuk mengatasi dampak buruk korporasi pada hak asasi manusia. Hingga, pada akhirnya pada awal tahun 2011, Komisi HAM PBB mengesahkan Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Menerapkan Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa “Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan”.Kerangka PBB ini merupakan salah satu instrumen yang secara tegas menunjuk korporasi agar memiliki akuntabilitas dalam operasinya dan menghindari pelanggaran HAM di arealnya. Melalui Kerangka PBB, Negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia, dimana pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga, termasuk korporasi; perusahaan memiliki tanggungjawab untuk menghormati hak asasi manusia, yang berarti tidak melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional korporasi; dan adanya kebutuhan untuk memperluas akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun nonyudisial. Berkaitan dengan tema diskusi ini, Ifdhal Kasim (Ketua Badan Pengurus ELSAM) menjelaskan bahwa terdapat tiga hal penting yang tertuang didalam Ruggie Principle. Pertama adalah berkaitan dengan primary obligation yaitu state, yang kedua tentang corporate responsibility dan yang ketiga tentang redress, bagaimana menyiapkan mekanisme bagi pemulihan. Ketiga prinsip John Ruggie ini sebetulnya mengatasi, menjawab perdebatan yang sangat panjang dalan relasi antara hak asasi manusia dan bisnis. Mengenai relasi antara bisnis dan hak asasi manusia, terjadi debat yang sangat panjang yang tidak pernah bisa diselesaikan. Untuk itu, Prof. Ruggie-lah yang menyelesaikan perdebatan ini dengan tidak menghancurkan sama sekali konsep tanggungjawab dalan rezim Hak Asasi Manusia, yaitu tetap menempatkan state sebagai pemangku utama dari yang berkewajiban menegakkan Hak Asasi Manusia dan kemudian menempatkan tanggungjawab korporasi itu pada dimensi to promote. Jadi tanggungjawab dari perusahaan adalah tanggungjawab untuk promosi, tanggungjawab untuk bagaimana menghormati Hak Asasi Manusia (respecting human rights). Ketika John Ruggie meletakan tanggungjawab perusahaan itu pada tingkat respect, menghormati, maka berbagai debat terkait dengan bagaimana meminta tanggungjawab perusahaan menjadi selesai. Kalau sebelumnya, dunia bisnis selalu keberatan kalau mereka ikut memikul tanggungjawab hak asasi manusia. Hal ini sama saja dengan memprivatisasi hak asasi ke dunia bisnis. Sebab bagi dunia bisnis dengan mengikuti semua prosedur, semua aturan hukum berkaitan dengan hak dan kewajiban bagi dia itu sudah melaksanakan hak asasi (manusia) dan itu sepenuhnya menjadi tanggungjawab negara bukan tanggungjawab mereka. Jadi kalau misalnya membebankan tanggungjawab keperusahaan untuk ikut menegakan hak asasi manusia bukankah itu merupakan privatisasi hak asasi manusia, yang tadinya merupakan public obligation menjadi tanggungjawab dari unit swasta. Itu antara lain keberatan dari kalangan dunia usaha terhadap memasukan tanggungjawab hak asasi manusia ini ke dalam dunia bisnis. Tapi kemudian lama kelamaan dari evolusi perdebatan ini akhirnya kalangan dunia usaha menjadi bisa menerima ketika diformulasikan bahwa tanggungjawabnya itu dalam bentuk respect. Apa yang dimaksud dengan respect itu? adalah bagaimana perusahaan itu menghindari terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, bagaimana upaya-upaya untuk ikut memajukan hak asasi manusia. Karena itu John Ruggie memberikan beberapa langkah dalam konteks memajukan tadi. Pertama adalah setiap perusahaan diharuskan memiliki human rights policy, dengan membuat satupolicy yang jelas dari perusahaan itu atas hak asasi manusia. Hal ini merupakan salah satu cara untuk menghindari terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. Kedua bagaimana mereka mencegah untuk melanggar hak asasi manusia, maka diharuskan perusahaan itu melakukan due diligent (uji tuntas). Kalau perusahaan mau go public perusahaan itu harus melakukan due diligent, harus ada serangkaian kegiatan untuk membedah perusahaan itu. Ketiga perusahaan itu harus membuat mekanisme complaintyang memadai sehingga kalau terjadi atau mereka melakukan pelanggaran, ada tempat bagi masyarakat untuk mengajukan complaint. Inilah tiga langkah yang ditawarkan oleh John Ruggie kepada perusahaan agar respecting human rights, bukan protect human rights. Kalau protect itu eksklusif milik negara karena itu berimplikasi menggunakan power, menggunakan enforcement menggunakan kekerasan. Karena yang sah menggunakan kekerasan itu hanya negara, dengan polisi, tentara dan sebagainya. Dengan tiga aspek yang mengarahkan perusahaan kepada bentuk tanggungjawab tadi, dengan demikian perusahaan akan terhindar dari berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang biayanya besar sekali, dan biaya itu tidak pernah bisa dihitung oleh perusahaan. Kita sebut misalnya Freeport yang ada di Indonesia, yang beroperasi di Indonesia, itu banyak kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh freeport, itu costnya besar sekali. Puncak dari itu adalah kasusnya Tom Beanal dan Mama Yosepa, yang kemudian membuat banyak perubahan dalam struktur organisasi Freeport dengan menempatkan masyarakat setempat untuk menjadi Komisaris dalam perusahaan itu. Ada juga perwalian pada mereka, dana perwalian dan sebagainya. Selain itu, dana-dana lain yang dikeluarkan oleh Freeport untuk mengatasi persoalan berkaitan dengan security perusahaan itu. Untuk menghindari biaya yang demikian besar yang dialami oleh perusahaan yang diluar perkiraan mereka, karena itu menjadi penting untuk mengintegrasikan frame work yang disiapkan oleh John Ruggie ini bagi perusahaan-perusahaan. Selanjutnya bagian kedua dari apa yang saya sampaikan, sekarang kita lihat pengaruh dari prinsip ini sudah sangat besar, sudah banyak perusahaan yang mulai mengintegrasikan Ruggie Principles itu, baik secara voluntary artinya perusahaan itu sendiri yang dengan sukarela mengikuti, melalui berbagai macam asosiasi yang mereka buat. Misalnya ada pimpinan dari perusahaan-perusahaan multinasional yang bergabung membuat forum untuk meng-implementasikan human rights, ada banyak forum lain termasuk misalnya untuk menjalankan perintah dari UN terkait dengan Global Compact dimana juga disitu salah satunya, variabel hak asasi manusia juga masuk ke dalamnya. Jadi ada pengaruh yang besar yang terjadi didalam dunia bisnis sekarang, yang sudah mulai mempraktikan Ruggie Principles ini kedalam operasi (perusahaan) mereka. Karena itu sekarang banyak perusahaan yang sudah punya human rights policy dan masing-masing dari perusahaan ini sekarang dengan sektornya mengeluarkan prinsip-prinsip juga yang secara voluntary mereka susun. Misalnya ada prinsip yang secara voluntary diterapkan untuk sektor industri ekstraktif. Jadi, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada perubahan yang besar di dalam dunia bisnis yang mulai mengintegrasikan nilai hak asasi manusia ke dalam operasi (perusahaan). Sekarang bagian ketiga itu bagaimana pengaruhnya di Indonesia? Apa yang bisa kita lakukan? di Indonesia ini kalau perusahaan yang berasal dari negara-negara atau perusahaan multi nasional atau transnasional seperti Freeport, BP, Conoco Phillips dan lain sebagainya, karena di induk perusahaan mereka sudah mengintegrasikan human rights dalam standar operasi mereka, maka di anak perusahaan mereka yang tersebar di berbagai negara sudah juga mulai mengintegasikan itu. Misalnya British Petroleum (BP), sebelum BP beroperasi mereka melakukan human rights impact assessment, membuat terlebih dahulu potensi pelanggaran-pelanggaran yang akan terjadi dan kemudian dari situ mereka bisa memprediksi kira-kira biaya-biaya yang bakal muncul dan harus mereka jawab terkait dengan hak asasi manusia. Juga sama seperti Conoco Phillips, Conoco Phillips juga punya satu program yang jelas di bidang hak asasi manusia dan melakukan training mulai dari stafnya dari yang rendah sampai yang paling atas. Begitu juga dengan Total perusahaan minyak dari Prancis, punya standar yang cukup kuat dibidang hak asasi manusia. Untuk konteks Indonesia, sebagai bagian dari tanggungjawab negara yang dalam Ruggie Principles ini menjadi bagian pertama, yaitu state obligation, Pemerintah harus menyiapkan kerangka kerja (framework) untuk memberikan semacam guide kepada perusahaan-perusahaan di dalam negeri untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip John Ruggie ini dalam operasi mereka. Karena itu barangkali ini menjadi wilayah dari Kementerian Hukum dan HAM untuk begaimana memformulasi satu aturan yang memberikan enforcementkepada John Ruggie Principles ini. Sebab bagaimanapun juga negara tetap mempunyai tanggungjawab untuk membuat dunia bisnis lebih ramah kepada hak asasi manusia. Meskipun kita bisa sebetulnya mendorong perusahaan itu membuat inisiatif sendiri, misalnya mengajak Kamar Dagang Indonesia atau yang lain-lain untuk mulai memikirkan hak asasi manusia dalam operasi mereka. Karena selama ini fokus mereka hanya soal hukum semata-mata, jadi melihat problem hak asasi manusia itu sebagai problem hukum, karena itu pendekatannya pendekatan hukum, bukan pendekatan hak asasi. Hal ini disebabkan karena (perusahaan-perusahaan) belum pernah menghitung human rights costdari satu project, karena itu problemnya hanya dianggap problem pembebasan lahan misalnya. Tidak dilihat dalam kerangka masalah hak asasi manusia. Pendekatan seperti ini yang belum diterjemahkan dengan baik oleh perusahaaan swasta. Karena kalangan perusahaan swasta itu lebih melihat itu soal hukum, soal hukum dalam pembebasan lahan, soal hukum dalam perlindungan lingkungan, bukan soal hak asasi manusia. Jadi kesadaran itu sebagai hak asasi belum ada, ini yang dalam beberapa hal banyak menghambat project-project infrastuktur yang terjadi. Tanpa melihat (masalah-masalah) ini sebagai persoalan hak asasi manusia, masalah ini tidak akan pernah selesai.