Senin, 30 Agustus 2010

Memaknai Kehadiran PT Freeport Indonesia di Papua

Suatu ketika di tembagapura, teriakan melengking itu membahana di seantero dinding2 gunung, memantul mengisyaratkan bahwa semuanya harus siap siaga. Teriakan itu adalah teriakan perang yg khas dan hanya di miliki oleh suku-suku di sekitar daerah pengunungan tengah di wilayah Papua.

Dalam sekejap saja, kota itu berubah menjadi lautan manusia, berubah menjadi lautan api, suasana yg mencekam seketika mencekik semua penghuni kota yg terletak di ketinggian 3000 M dari permukaan laut ini. Peristiwa itu terkenal dengan nama “Festival Rock”, namun saya cenderung lebih suka memaknainya sebagai bentuk aktualisasi diri.

Sejarah telah dilahirkan di kota ini, sejarah telah menorehkan catatan nya di kota ini, namun sejarah itu tetap saja terlupakan. Mustikah kita kembali membongkar dokumen sejarah bahwa kota ini hadir ibarat istana gading sebagai imperium bussinesnya kaum kapitalis dan bule2 kepala hitam yg berlaku laiknya kaum expatriate??

Suatu ketika saya mengadakan perjalanan ke sebuah perkampungan yg bertetangga dengan kompleks perumahan di kota ini, mengadakan diskusi dan berinteraksi dengan masyarakat di kampung Banti, salah satu kampung yg bisa di tempuh dengan kendaraan sekitar 15 menit dari gerbang banti gate areal PTFI. Memasuki area perkampungan ini, saya di suguhkan dengan realita sosial yg teramat sangat kontras dengan kondisi di dalam kota Tembagapura sehingga utk mendeskripsikan kondisinya pun sungguh teramat sangat sukar. Namun satu hal yg pasti yg sering kali saya temukan saat berdiskusi dengan mereka, adalah gambaran peristiwa masa lalu, bahwa “dulu, tempat itu adalah kita punya kampong, tapi sekarang sudah tidak lagi”. Atau juga ada ungkapan lainnya sebagai bentuk ekspresi, “anak…dulu…gunung Nemangkawi itu kita punya tempat yg pamali, tapi sekarang su tidak lagi”, konkreetnya semua hal yg berhubungan dengan kondisi masa lalu, hanya menjadi sebentuk memori yg menyakitkan apa bila kita mampu utk merefleksikannya.

Kondisi seperti ini, tidak dapat disalahkan 100% sebagai bentuk kesalahan yg harus di pikul oleh PT Freeport Indonesia, realitas yg terjadi sesungguhnya adalah sebagai bentuk akumulasi atas persoalan masa lalu akibat dari kesalahan normative produk UU kita yg tidak becus mengakomodir kepentingan nasional. Keleluasaan atas diberlakukannya UU PMA tersebut telah mengabaikan esensi sebenarnya dari keterlibatan suatu kelompok masyarakat yg sesunguhnya memiliki wilayah itu secara turun temurun sejak dunia ini di jadikan. Siapakah yg dapat membantah, bahwa sesungguhnya, wilayah kontrak karya ini adalah 100% milik masyarakat adat?? Adakah pemerintah di sana yg hadir saat Tuhan Menciptakan langit dan bumi, kemudian memberikan wilayah yg kaya akan SDA ini kepada suku Amungme dan komoro?? Atau setidaknya pemerintah ini turut mengambil bagian saat Tuhan membagi-bagikan tanah ini kepada 350 suku di Papua??

Sungguh ironis sekali nasib mereka, pemerintah membagi wilayah mereka laiknya sebagai kue ulang tahun kepada rekanan yg layak mendapatkan potongan kue tersebut tanpa memperdulikan keterlibatan si pemilik pesta. Pemerintah telah mengabaikan tugas dan tanggung jawab nya utk berperan aktif membangun masyarakat. Bahkan pemerintah menyerahkan sebagian besar peran dan tanggung jawabnya kepada PT Freeport Indonesia dan Gereja untuk memberdayakan masyarakat sekitar.

Undang Undang kita, yg mengatur tentang PMA, ternyata memberikan ruang gerak kepada pemilik modal untuk ikut mengontrol pemerintahan kita, bukankah ini sebagai bentuk merongrong kewibawaan pemerintah??? Bukankah ini yg disebut dengan makar dalam pengertian hukum yang sesungguhnya??
Kewajiban dari perusahaan telah diberikan, yakni memberikan kompensasi sebagai pengganti hak-hak social, ekonomi dan budaya dari masyarakat local yg mengalami penyusutan ruang wilayah, bahkan memberikan deviden yg tidak kecil kepada pemerintah. Alangkah bijaknya jika pemerintah melihat masalah ini secara serius dan objectif, bukan dari kepentingan ekonomi saja, bukan pula dari kepentingan bussines.

Dimanakah perhatian pemerintah ketika masyarakat local berteriak melengking yang mendandakan bentuk aktualisasi diri akibat terjadinya kegoncangan budaya karena adanya pengabaian terhadap nilai-nilai social ekonomi dan budaya dari masyarakat yg terabaikan?? Wajarkah ketika semua situasi politik ini kemudian berimbas kepada kehadiran PT Freeport di Papua??

Wajarkah ketika masyarakat local yg mengekspresikan dirinya kemudian di tangkap dengan arogan oleh aparat pemerintah tanpa menghormati nilai normative dari asas praduga tak bersalah?? Dan kemudian pemerintah mencuci tangan atas kesalahan mereka??

Mari, kita sama-sama bertanya kepada pelaku-pelaku pemerintahan dan pelaku-pelaku business yg turut serta mengontrol arah kebijakan masyarakat kita. Bukan perusahaan nya, tetapi produk normativenya yg tidak jelas dan tidak becus dan telah menjadikan PTFI sebagai imperium bussines kelompok elite tertentu dari pelaku pemerintahan di pusat segala pusat pemerintahan di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar