Sabtu, 17 April 2010

In Momeriam buat Demokrasi

Disana...
Ia masih berdiri dengan tegak dan pedang yg terhunus
Darah masih saja berceceran jatuh menerpa bumi dari dua sisi mata pedangnya
Tatapannya dingin!!
menusuk, menikam jantung setiap insan yg menatap padanya.

sementara dibelakangnya, gerbang menganga dengan lebar
jejak-jejak kaki masih membekas dari sisa-sia pertempuran hari itu.
menggambarkan keadaan dari peristiwa yang tak sempat diceritakan oleh mahkluk-mahkluk Tuhan yang telah direnggut nafasnya.
Darah mengering bersama debu yang membungkus.
Amis...muak aku mencium bau darah.

dia masih disana.
berdiri seakan algojo yang yang siap melakukan eksekusi.
selembar nyawa tak lagi ada harganya
desahan nafas tak lagi ada artinya
apalagi tangisan dari para wanita yg dengan meregang nyawa melahirkan putra-putri mereka.

Wahai para ibu yang mulia
rahimmu yang telah mencampakan nafas-nafas ilahi tak lagi akan digumuli dengan penuh cinta karena dendam yang membara.
anak-anak mu telah direnggut oleh angkara murka yang tak lagi mengontrol logika mematikan rasa dalam hasrat penuh dendam

dia masih disana
dengan pedang yg ditunjuk kepada langit seakan ingin mengadili kekuasaan yang Maha Mulia.
pedangnya masih saja membelah setiap dada makhluk Tuhan yg coba mengusik kedalam gerbang
Dia masih disana berdiri dengan angkuh menatap kepadaku.

telah ku coba pahami arti tatapannya
telah ku coba selami maksud hatinya
namun tidak ketemukan sedikit saja kebijakan darinya

in memoriam buat demokrasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar